Disclaimer:
Untuk yang belum tahu apa itu Australia Awards di Indonesia (AAI), bisa cek website nya langsung ya. Aku cuma bahas sedikit-sedikit mengenai pendaftaran AAS.
Let's start!
Percobaan Pertama
Pertama kali tahu Australia Awards Scholarship (AAS) dari hasil browsing di Google tahun 2017 akhir. Waktu itu iseng-iseng nyari beasiswa S2 ada apa aja dan ke mana aja. Niat buat apply waktu itu masih kecil banget, 30% kira-kira. Pas buka website AAI, entah kenapa pengen banget lanjutin S2 di Australia kalau beneran bisa dapat beasiswa. Mungkin karena beberapa dosen di kampus, rekan kerja, dan kerabat yang lulusan negara kangguru itu teruji kualitasnya karena mereka punya karir yang bagus di Indonesia.
Setelah aku cek, pendaftaran AAS dibuka setiap bulan Januari sampai April. Aku langsung subcribe newsletter mereka supaya gak ketinggalan update plus mark kalender sendiri, dan catat syarat-syarat dokumen yang diperlukan. Anw, pendaftaran untuk intake 2021 sudah dibuka loh! Yang tertarik daftar, cek di sini.
Namanya juga manusia yang gampang goyah sama godaan-godaan duniawi, gak berasa udah masuk tahun 2018 aja. Dapat email newsletter dari AAI yang isinya pengumuman kalau pendafataran AAS udah dibuka. OH NO! Aku belum siapin apa-apa, bahkan belum ambil IELTS. Alhasil, setiap pulang kantor nyicil isi formulir pendaftaran secara online, namanya Online Australia Scholarships Information System (OASIS). Ada 13 bagian yang harus kita isi:
1. Personal Details: Semua informasi tentang kita, termasuk etnis dan pertanyaan apakah kita pernah atau berniat daftar di Australia atau New Zealand
2. Contact Details: Semua informasi tentang alamat, kontak pribadi dan darurat kita, termasuk informasi pasangan dan anak
3. Previous Scholarships: Beasiswa yang kita pernah dapat sebelumnya dan beasiswa lainnya yang akan kita daftar juga di tahun tersebut
4. Proposed Study Program: Kita bisa isi sampai 6 preferensi jurusan dan universitas. Sangking banyak jurusan yang aku tertarik, aku isi semuanya hehehe
5. Qualification Details: Sebutkan pendidikan kita dari SMP sampai pendidikan terakhir yang kita dapat atau sedang ditempuh. Btw, beasiswa AAS ini gak mewajibkan kita harus punya pengalaman kerja dulu seperti beasiswa lain
6. English Languange Details: Di sini ada pertanyaan apakah Bahasa Inggris adalah bahasa utama kita, apakah Bahasa Inggris adalah bahasa yang digunakan di pendidikan terakhir kita, dan nilai tes Bahasa Inggris kita (IELTS atau TOEFL).
7. Computer Literacy Details: Sejauh mana literasi komputer kita
8. Current Employment: Pekerjaan kita saat ini, termasuk job description, dan rencana kita setelah menyelesaikan pendidikan kita
9. Previous Employment: Histori pekerjaan kita
10. Supporting Statement: Di sini ada empat pertanyaan pokok yang kita jawab seperti short essay dan 5 pertanyaan lainnya:
Kenapa kamu memilih jurusan dan universitas tersebut?
Bagaimana jurusan yang akan kamu ambil mempunyai kontribusi untuk karir kamu?
Bagaimana kamu menyelesaikan sebuah tantangan dan mewujudkan perubahan?
a) Sebutkan maksimal tiga praktik bagaimana kamu akan menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan konekasi yang akan kamu dapatkan dari bebasiswa kamu. Praktik yang disebutkan boleh bersifat personal atau profesional. b) Sebutkan kendala apa saja yang menurut kamu dapat menghalangi kamu untuk mengerjakan praktik tersebut?
Apa pilar yang paling sesuai dengan aplikasi kamu? (AAS punya tiga pilar utama di mana penerima beasiswa diharapkan akan berkontribusi pada salah satu pilar tersebut. Lebih lengkapnya, silahkan dicek ya)
Apakah kamu punya koneksi atau hubungan dengan staf yang bekerja di DFAT atau mitranya?
Apakah kamu tunduk pada proses pidana atau perdata yang saat ini sedang dalam proses tindakan hukum?
Apakah kamu pernah dihukum karena melakukan pelanggaran di negara mana pun?
Apakah kamu mempunyai disabilitas?
11. Professional Memberships: Komunitas atau organisasi yang kita ikuti
12. Communication: Dari mana kamu mengetahui Australia Awards?
13. Declaration: Persetujuan kita terhadap semua hak, syarat, dan ketentuan
Karena aku belum pernah ambil tes IELTS aku segera daftar tes IELTS untuk bulan Maret akhir supaya aku masih punya waktu persiapan sekitar 2 bulan. Aku ikut trial tes di salah satu education agent di Jakarta dan latihan soal dari buku IELTS yang aku beli di Gramedia. Oh ya, aku juga minta surat rekomendasi dari tiga dosenku di President University.
Selama proses pendaftaran itu, aku di antara niat gak niat sebenarnya. Kalau lagi niat aku fokus banget buat isi form & belajar IELTS, tapi kalau lagi gak niat aku bisa skip beberapa hari buat gak nyentuh pendaftarannya sama sekali. Alasannya karena pulang ngantor udah capek otak, jadi pengennya hiburan yang gak butuh otak, misalnya nongkrong bareng teman-teman atau nonton film. Waktu itu juga karena lagi ada masalah personal juga, jadi fokusnya terpecah-pecah. Ditambah lagi, teman-teman sekelilingku sedang tidak punya tujuan yang sama yaitu melanjutkan S2, jadinya gak ada motivasi dan mager banget buat gerak. Akhirnya sampai di pemikiran, “No worries, Phe. Nothing to lose. Namanya juga pertama kali nyoba daftar beasiswa, wajar banget kalau belum diterima.” Tapi dengan pemikiran itu malah bikin aku jadi makin woles dan nunda timeline yang udah aku set.
Ternyata benar. Overall band score IELTS ku Cuma 6.0; kurang setengah poin yang disyaratkan untuk daftar AAS. Aku juga masih otak atik short essay ku seminggu sebelum pendaftaran ditutup. Walaupun aku tahu aku gak akan lolos ke tahap selanjutnya, aku tetap PD submit pendaftaranku. Tentunya masih dengan pemikiran “Yauda gpp, hitung-hitung jadi tahu isi form pendaftarannya kayak apa, pertanyaannya kayak apa; aku jadi punya draft jawaban esai untuk tahun depan”.
Dan, sesuai ekspektasiku, tanggal 13 Juni 2018, aku dapat email pemberitahuan dari pihak Australia Awards kalau aplikasiku belum berhasil karena nilai IELTS ku tidak mencukupi. Pas dapat pemberitahuan itu sedih dan kecewa sama diri sendiri. Agak nyesal karena gak serius buat daftarnya. Untungnya keluargaku tetap kasih semangat dan dukungan positif. Mereka bilang masih ada kesempatan lain, jadi sabar aja. Jadilah aku melanjutkan rutinitas kerjaku, sambil ngumpulin niat bulat untuk eksplor universitas dan jurusan yang benar-benar aku mau dan bakal berguna buat karirku nanti.
Percobaan Kedua
Tahun 2018 bukan tahunku. Aku merasa banyak gagal dan gak ngehasilin apapun. Akhirnya, aku bertekad untuk membuat beberapa goal hashtags (re: resolusi 2019), salah satunya #PhePheDapatBeasiswa. Kali ini, perisiapan IELTSku lebih serius. Aku kursus persiapan IELTS sama guru privat bareng temanku mulai bulan Januari sampai awal Maret 2019. Yang kepo aku kursus di mana, cek ig @elantern.id. Banyak banget tips dan trik yang dikasih dari banyak soal latihan yang dikasih. Karena mereka ngikutin jadwal aku & temanku, mereka harus kirim dua guru. 1 guru untuk reading, listening, dan speaking; 1 guru khusus untuk writing. Mereka friendly banget jadi belajarnya santai tapi tetap fokus. Super recommended! Aku ambil IELTS lagi bulan Maret akhir, dan hasilnya memuaskan. Overall band score ku naik 1 poin dari tahun lalu (7.0) dan gak ada band score yang dibawah 6.0.
Di saat yang bersamaan, aku juga menyiapkan jawaban-jawaban untuk diisi di formulir pendaftaran. Tapi ternyata… aku gak save jawaban yang aku tulis tahun lalu, jadi aku harus merangkai ulang jawabanku. Tapi aku gak terlalu sedih, karena aku jadi punya kesempatan untuk refleksi diri. Benar-benar mikir apa yang mau aku pelajari, apa yang mau aku lakukan setelah S2, apa tujuan jangka panjangku. Alhasil, aku perlu waktu sekitar 2 bulan untuk bisa benar-benar menjawab pertanyaan di bagian Supporting Statement itu. Waktu itu aku juga dibantu guru kursus ku; mereka bantu review grammar dan struktur kalimat short essay ku. Bolak-balik revisi karena setiap pertanyaan dibatasi hanya maksimal 2.000 karakter, jadi aku harus bisa menyiapakan jawaban yang singkat tapi komprehensif.
Seminggu sebelum pendaftaran ditutup, aku dengan mantap mengisi semua bagian di formulir pendaftaran dan mengunggah dokumen-dokumen yang diminta. Tapi karena anaknya suka panik sendiri dan takut ada yang salah, aku gak langsung submit, tapi save as draft dulu hahaha Sampai H-2, aku buka lagi draftnya dan aku review dari bagian satu sampai terakhir, dan dengan mengucapkan doa, aku klik tombol ‘SUBMIT’. Selain submit formulirnya, kita wajib mengisi Additional Information for Online Application setalah dapat OASIS application ID. Ini yang gak aku lakukan tahun 2018, jadi sepertinya ini salah satu alasan lain kenapa aku gak lolos.
Dua bulan kemudian, tepatnya 28 Juni 2019, aku dapat email dari Australia Awards yang menyatakan bahwa aku lolos ke tahap dua bersama dengan 437 pelamar lainnya. Aku senang banget karena mulai ada harapan aku bisa achieve salah satu goal hashtags ku. Seleksi tahap kedua adalah Joint Selection Team (JST) Interview dan IETLS Test yang akan diadakan pada bulan Juli.
Aku semakin semangat tapi degdeg-an juga. Dalam durasi kurang dari sebulan itu, aku manfaatkan dengan baik untuk mencari tahu pertanyaan-pertanyaan yang mungkin ditanyakan nanti dan latihan soal IELTS lagi. Aku mengetik semua kemungkinan pertanyaan dan jawabannya mulai dari tiga topik (kompetensi akademik, atribut kepemimpinan profesional dan personal, dan potensi diri) yang diberitahu lewat email tersebut, perhitungan biaya hidup di Australia, sampai pengetahuan umum tentang hubungan bilateral Indonesia-Australia. Setiap pertanyaan aku siapkan jawaban yang detail dan benar-benar merefleksikan diriku. Aku juga latihan interview di depan kaca. Aku ingat banget pesan salah satu seniorku dari President University, dia saat itu bekerja di Coventry University dan pernah menjadi salah satu panelis wawancara beasiswa Chevening. Beliau mengatakan, “berikan jawaban paling jujur di setiap pertanyaan. Walaupun mungkin jawabannya sepele, panelis akan berkesan dengan “innocent answer” kamu. Gak usah menyiapkan jawaban yang wah tapi itu gak nunjukkin kamu. Please try to bring out your true self.”
Tanggal 17 Juli aku ikut IELTS Test untuk speaking skill, dan tanggal 20 Juli untuk skills lainnya. Biaya tes IELTS ini ditanggung oleh pihak AAI, jadi kita cukup daftar ulang secara online dan datang di hari tes yang dijadwalkan. Hasil IELTS test ini akan menentukan durasi kelas pelatihan yang harus kita ikuti sebelum keberangkatan ke Australia jika kita mendapatkan beasiswa AAS. Menurutku IELTS test nya lebih sulit dari yang aku kerjakan sebelumnya. Jadi aku gak percaya diri dengan hasilnya.
Tanggal 30 Juli aku datang ke lokasi interview di IALF Kuningan, Jakarta. Sebelum interview dimulai ada sesi kata sambutan dan briefing. Pada sesi tersebut, kita dikenalkan dengan panelis yang akan mewawancarai kita dan bagaimana interview akan berlangsung. Untuk pelamar jenjang Master (S2) wawancara akan dilakukan oleh tim yang terdiri dari 1 orang akademisi dari Indonesia dan 1 orang akademisi dari Australia selama ±20 menit. Untuk pelamar jenjang PhD (S3), wawancara akan dilakukan oleh tim yang terdiri dari 2 orang akademisi Indonesia dan 2 orang akademisi Australia dengan tugas: 1 orang moderator dan 3 orang pewawancara di mana pelamar harus menjelaskan proposal penelitian selama 10 menit tanpa menggunakan alat bantu presentasi seperti Powerpoint dan sesi tanya jawab selama 25 menit. Kita diminta untuk menjawab dengan jujur dan tenang (katanya sih akan seperti ngobrol-ngobrol biasa) karena JST Interview ini merupakan kesempatan tim AAI mengenal diri kita dan potensi-potensi yang akan kita kembangkan di Australia supaya kita bisa berkontribusi bagi perkembangan Indonesia. Selain itu, mereka juga kasih tahu kalau pengumuman hasil seleksi akan diberikan melalui email. Tips buat tahu kilat apakah kita berhasil dapat beasiswa AAS atau nggak, cukup lihat kalimat pertama di body email: ‘Congratulations’ atau ‘Unfortunately’.
Aku dapat giliran interview tepat jam makan siang. Agak ngeri karena takutnya panelis di ruanganku sudah capek mewawancara banyak kandidat dan lapar. Pas masuk ruangan interview, kita diperbolehkan membawa kertas catatan dan di dalam ruangan disediakan minuman. Pertama, aku diminta untuk memperkenalkan diri. Setelah itu, aku ditanya “Kenapa preferensi jurusannya sampai 6? Jadinya mau ditanya yang preferensi nomor berapa?” Aku pilih preferensi nomor satu, University of Queensland, Master of Communication. Dari situ aku dapat beberapa pertanyaan, antara lain:
Kenapa pilih jurusan Ilmu Komunikasi lagi?
Setelah dapat gelar S2, apa yang mau kamu lakukan?
Kalau kamu mau punya perusahaan yang bergerak di bidang communications dan/atau event management, kenapa kamu malah ambil jurusan ilmu komunikasi? Kenapa gak ambil jurusan yang spesifik?
Menurutmu, untuk mendirikan sebuah perusahaan, bagian atau divisi apa saja yang krusial ada di dalamnya?
Kontribusi apa yang mau kamu berikan untuk perkembangan Indonesia?
Siapa praktisi humas yang kamu idolakan? Kenapa?
Case Study
Btw, kalau aku bikin konten tersendiri bagaimana aku menjawab pertanyaan-pertanyaan interview itu pada setuju gak? Comment di bawah ya.
Ada beberapa pertanyaan yang sulit aku jawab. Aku paham dengan pertanyaannya tapi aku menjelaskannya terlalu berbelit-belit alias mutar-mutat. Di bagian akhir, mereka memberiku kesempatan untuk bertanya. Pertanyaan yang aku tanyakan adalah, “Aksen Bahasa Inggris Australia sangat khas sehingga sulit didengarkan. Bagaimana mengatasi language barrier di Australia?” Damn! Kenapa aku menanyakan pertanyaan yang jawabannya sudah aku tahu. Dan sesuai ekspektasiku, mereka menjawab “Kamu bisa banyak menonton film atau program talkshow Australia supaya kamu terbiasa dengan aksen mereka. Ada lagi pertanyaan?” Aku lansung menggelengkan kepalaku “No, that’s all. Thank you.” Mereka mempersilahkanku keluar dari ruangan.
Selama interview, aku gak melihat ada ekspresi positif dari penelis. Menurutku mereka benar2 ikut panduan pertanyaan yang diharuskan, bukan seperti ngobrol yang dikasih tahu pas briefing. Keluar dari ruangan interview, aku cuma bisa duduk lemas, pikiranku ke mana-mana. “Kenapa tadi aku jawab kayak gitu? Harusnya tadi jawabnya kayak gini. Kenapa mereka gak kasih respon positif?” Down banget karena berasa hopeless, jadinya aku laporan ke bosku kalau aku ijin gak masuk kantor seharian (tadinya aku hanya berniat ijin setengah hari). Setelah 10 menit aku duduk bengong, aku mutusin buat ke Rumah Sakit Umum tanah Abang buat cek kesehatan supaya dapat berbagai surat keterangan sehat sebagai syarat dokumen wajib LPDP. Keesokan harinya aku langsung berubah haluan dan fokus untuk daftar LPDP. Aku melengkapi semua dokumen dan esai. Saat itu aku menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Aku yakin Tuhan akan memberikan yang terbaik untukku di saat yang terbaik juga.
Announcement Day
Sehari sebelum aku akan submit application, tanggal 28 Agustus 2019, aku dapat email dari Australia Awards dengan subject “Notification Letters 2019-2020”. Waktu itu aku baru sampai di kantor setelah balik dari makan siang. Degdegan, panik, dan gak berani liat isi emailnya. Pelan-pelan aku buka emailnya dengan posisi tangan menutupi sebagian layar. Dan… kalimat pertama yang aku baca adalah ‘Congratulations!’. Aku baca lagi sampai bawah untuk memastikan kalau aku tidak salah. Di email itu dikatakan kalau aku berhasil menjadi salah satu dari 250 penerima beasiswa yang sudah disaring dari 5.300 applicants di seluruh Indonesia.
Kaget, senang, terharu, speechless…
Orang pertama yang aku kasih tahu adalah teman kantor yang duduknya di sebelahku. Habis itu aku ke kamar mandi sambil kirim screenshoot emailnya ke group chat keluargaku. Aku langsung telp mamaku yang saat itu lagi sama papaku. Mereka ikut kaget, senang, dan nangis terharu. Mereka mengucapkan selamat dan bilang ke aku, akhirnya penantianku terwujud, akhirnya semua usahaku terbayar. Setelah menutup telepon, aku masuk ke toilet, duduk, dan menangis sejadi-jadinya. Masih kaget dan gak percaya kenapa aku bisa lolos. Padahal aku sudah tidak mengharapkan akan dapat beasiswa dari Australia Awards karena interviewku yang jelek, nilai IELTS di seleksi kedua menurun (overall band scorenya 6.5 dan writing score hanya 5.5), dan aku tidak masuk di kategori manapun yang ditargetkan oleh AAS (aku pegawai swasta yang berasal dari kota besar dan melamar bidang studi non-prioritas).
Aku keluar dari toilet setelah 20 menit di dalam dan kembali ke ruangan dengan ekspresi sok cool. Sisa jam kerja itu aku jadi agak kurang fokus sangking senangnya dan berpikir keras apa yang membuatku lolos.
Aku sangat bersyukur dengan 2019 yang penuh kejutan, lika dan liku. Sekali lagi aku membuktikan diriku sendiri kalau usaha yang dijalankan dengan disiplin dan doa kepada Tuhan gak akan mengkhianati hasil. Aku baru bisa mendapatkan beasiswa di percobaan yang kedua, dan masih ada banyak orang di luar sana yang harus mencoba lebih dari dua kali untuk mendapatkan sesuatu yang mereka impikan. Aku percaya pasti ada alasan kenapa kita dikasih kegagalan. Seperti case ku, aku belum dikasih dipercobaan pertama karena Tuhan mau aku punya pengalaman kerja 2 tahun dulu supaya lebih banyak pengalaman yang bisa aku gunakan saat studiku di Monash University. Aku juga jadi punya waktu untuk melakukan hal-hal lain yang bermanfaat, seperti membangun bisnis kecilku di bidang event planner & organizer, @lolganizer (jangan lupa follow ya hehehe). Dan masih banyak alasan positif lain.
Jadi, jangan menyerah sekarang! Kalau kita yakin dengan diri kita sendiri, pasti Tuhan akan kasih jalan untuk kita. Ingat, semua akan datang tepat pada waktunya :)
Kalian pengen aku cerita apa lagi?
Comment yuk!