top of page
  • Writer's picturepheseline

Kenapa Film The Social Dilemma Viral & Wajib Ditonton?

Hey hey hey!

Setelah sebulan gak nulis, sekarang nulis lagi hehehe

Kali ini aku bakal bahas tetang film The Social Dilemma yang udah tayang di Netflix sejak tanggal 9 September 2020. Tapi sebenarnya nih film udah dirilis dari bulan Januari kemain. Aku sendiri udah nonton di Netflix dan tertarik banget buat bahas film ini. Kenapa? Karena konten film ini persis apa yang aku pelajari pas kuliah semester 1 di Monash.


Source: artstation.com


Kalau kamu suka banget main social media (socmed), mungkin kamu akan tercengang-cengang dan jadi waswas setelah nonton film ini karena itu reaksi yang sama pas aku belajar di kampus. Di film ini bahas isu sosial yang menurut para ahli itu harus segera diperhatikan. Dan karena aku udah tau isu ini dari sebelum film ini dirilis di Netflix, aku gak begitu shock sih pas nonton film ini,


Intinya sih ini film membuka pandangan orang tentang the dark side and terrible impacts of social media and any kinds of digital platforms. Apa sih yang sebenarnya terjadi? Kenapa kita harus sadar kalau sekarang sepertinya teknologi mulai menguasai manusia, bukan manusia yang menguasai teknologi? Kenapa kita harus bisa mengontrol diri kita buat gak kecanduan sama teknologi, terutama social media? It is because of the politics of platforms.


Menurut aku director dan producer film ini cukup berani buat bikin film dokumenter semacam ini karena cast yang diinterview adalah ex-employee platform-platform atau socmed ternama di dunia. Misalnya Tristan Harris, former design ethicist di Google; Tim Kendall, former president di Pinterest dan ex Direktur monestisasi Facebook. Ada juga beberapa akademisi dan aktivis penggiat anti social media addiction yang diinterview dalam film itu juga. Mereka menceritakan bagaimana social media dan platform-platform digital dirancang sedemikian rupa untuk memanipulasi psikologi manusia demi kepetingan bisnis semata. Akibatnya, dampak sosial yang terjadi sekarang benar-benar buruk.


Kalau kamu pernah nonton film The Great Hack, yang ada di Netflix juga, di mana skandal Facebook–Cambridge Analytica terungkap: data users digunakan tanpa ijin atau sepengetahuan pemiliknya untuk membuat sebuah strategi sales untuk kampanye presiden Donald Trump dan Brexit yang terlihat relate banget sama users, jadi secara gak langsung masyarakat di sana didirect untuk dukung trump dan Brexit ini. Wah parah banget deh pokoknya. Yang belum nonton, wajib nonton secepatnya ya.


Balik ke film The Social Dilemma. Di film ini, ada beberapa quotes yang di highlight. Aku akan bahas satu-satu quotenya ya.


Let's Start!


If you’re not paying the product, then you are the product

Ini ada hubungannya sama konsep attention economy. Di dunia teknologi sekarang, attention atau perhatian kita itu jadi komoditas. Pihak-pihak berkepentingan kayak pemilik socmed atau digital platform lain berlomba-lomba untuk menarik perhatian kita supaya kita aktif terus buat pakai socmed. Caranya? Banyak! Daily notification dari socmed yang kita pakai muncul terus.

Let’s say nih Twitter. Aku dalam sehari bisa dapet kira-kira 3x notification. Notif yang kasih tau tweet following aku atau notif buat ngasih tau ada trending topic yang harus aku buka. Ini tuh salah satu strategi social media buat bikin kita buka aplikasinya, mainin aplikasinya, liat konten-konten di dalamnya, termasuk ads yg ada di dalam. Well, notification ini memang bisa di setting di beberapa platform, tapi masih banyak yang belum aware dan merasa gak masalah dengan settingan default si platform. Contoh lain, Spotify. Banyak dari kita yang mungkin gak subscribe premium account Spotify karena mikir, "ah ngapain premium, gw ttp bisa denger lagu kok walaupun suka terganggu dengan ads dan akses fitur yang terbatas." Tapi Spotify tetep dapet untung loh dari free subcription lo itu. Ads yang kamu denger itu ada harganya! Nah tapi biar kamu buka Spotify terus dan dengerin ads itu, Spotify selalu munculin notif di HP kamu. Misalnya, single release penyanyi A yang bakal kamu suka.


Aku bisa jamin kalau dalam sehari kamu terima minimal 10 pop up notifications di hp. Nah, habis mereka kirim notifications, mereka tinggal tunggu aja, notif mana yang kita buka (ya berarti kita tertarik dengan tipe atau topik notif itu), mana yang kita kacangin (yang gak menarik menurut kita). Tindakan kita terhadap notif-notif mereka, berapa lama kita main tuh socmed atau digital platformnya, fitur mana yang paling sering kita pake dll, semua ke record di sistem mereka. Proses tersebut disebut Datafication. Kumpulan semua data dari datafication itu bisa disebut big data. Big data ini mereka olah buat menganalisa behavior kita, memprediksi tindakan kita selanjutnya, dan coba lagi cara baru atau cara lain buat narik perhatian kita. Persis kan kayak company retail yang masarin barangnya. Mereka harus ngelewatin proses trial and error sampai akhirnya mereka berhasil dapat dan mempertahankan perhatian kita. We are the products of digital platform, guys. That’s why, quoteYou have to have great prediction” juga disebutkan di film The Social Dilemma. Orang-orang dibalik perusahaan socmed harus punya prediksi yang kuat supaya kita pakai socmed mereka terus dan terus.


Any sufficiently advanced technology is distinguishable from magic -Arthur C. Clarke

Pernah gak sih kamu setercengang itu pas liat socmed “eh kok muncul aja sih nih iklan di homepage gw, padahal gw baru kepikiran. Search aja pun nggak.” Kalau pernah, kejadiannya sama seperti temanku. Jadi dia pas buka Facebook itu kaget banget nemu iklan jualan blender di home page nya dia. Dia sampe bilang canggih bener teknologi sekarang bisa baca pikiran orang, baru kepikiran buat nyari blender loh padahal. Tapi kalau pun di hp kita ada tool canggih banget buat transfer semua omongan kita ke digital platform juga gak mungkin kan.... karena temanku benar2 baru kepikiran dan gak pernah diomongin. Hmm creepy yaa… hahaha but that’s not a magic. That’s how the technology people work.


Orang-orang di balik digital platform atau pencipta teknologi itu udah memprediksi behavior kamu selanjutnya. Let say kamu stay di halaman peralatan dapur jauh lebih lama dari kamu stay di halaman gadget. Dari sini mereka bisa analisa dan belajar behavior kamu lebih jauh lagi sampai akhirnya prediksi mereka tepat. Jadi ya balik lagi ke poin sebelumnya, karena pemilik socmed ini tuh pengen kita pake terus platform mereka supaya kita klik konten di dalamnya, terutama ads, belajar tahu lebih banyak lagi tentang kita, dan bikin prediksi behavior atau pikiran kita ke depannya. Jadi, kejadian kayak temen aku itu bukan magician yang emang bisa baca pikiran orang kayak hipnotis-hipnotis itu ya.. Nah, proses ini terjadi berulang-ulang dan begitu terus sampai kita gak sadar kalau kita sebenarnya udah diprogram untuk melakukan tindakan yang mereka mau. Habis temanku beli blender misalnya, mungkin di homepage Facebook nya dia akan muncul peralatan dapur lainnya yang belum kamu punya, dan temanku jadi berpikir "wah tahu aja ini Facebook gw belum punya ini di dapur".


Selain itu, si pencipta socmed dan digital platforms lainnya juga mengaplikasikan teori atau pengetahuan mereka tentang psikologi manusia ke dalam teknologi untuk mempengaruhi, merayu, dan mengajak orang. Dengan kata lain, tekonologi adalah the behavior change genius atau persuasive technology. Akhirnya sekarang kita addicted sama socmed, sampai-sampai tiap pagi baru melek yang dibuka itu socmed dulu baru mandi. Kita juga tahu kalau traffic user paling padat itu sekitar jam makan siang dan jam 7 malam karena pattern yang "diciptakan" seperti itu. Serem….. But that’s the reality. Technology affordances atau kemungkinan-kemungkinan yang bisa kita lakukan di socmed, apps, website atau digital platforms lainnya itu sudah dirancang sedemikian rupa dengan algoritma supaya kita punya behaviors yang mereka harapkan.


There are only two industries that call the customers users: illegal drugs and software - Edward Tufte

Kita-kita ini disebut social media users, benar kan? Kalau kamu baca dokumen privacy policy di socmed, apps atau website, pasti kita dibilang users yang artinya pemakai. Dan memang sebutannya benar. Kita adalah pemakai socmed yang kecanduan main socmed atau teknologi kayak orang kecanduan narkoba. Dan ya gejalanya sama. Kita merasa insecure kalau gak pegang hp, kita merasa insecure sama diri kita sendiri karena post-post toxic di socmed, kita merasa kita bakal se awkward gitu kalau gak pegang gadget. Pemakai narkoba juga merasa sangat resah kalau lagi pengen obat. Efek dari kecanduan ini, baik kecanduan narkoba maupun socmed, banyak yang akhirnya bunuh diri karena depresi tinggi. Di film ini dikasih tunjuk data peningkatan angka remaja yang dibawa ke rumah sakit karena mencelakakan dirinya sendiri sejak maraknya gadget dan socmed.


Whether it is to be Utopia or Oblivion will be a touch-and-go relay race right up to the final moment - Buckminster Fuller

Teknologi itu bisa diibaratkan sebagai Utopia dan Oblivion secara bersamaan. Utopia adalah tempat yang perfect banget; semua yang kita butuhkan dan idamkan ada di sana. Nah teknologi juga sama. Dengan adanya teknologi, kita bisa cari informasi apa saja dalam hitungan detik, bisa komunikasi sama teman kita yang jaraknya ber mil-mil jauhnya sama kita, dan menyebarkan positvity ke orang lain. Tapi, di saat kita berpikir kalau teknologi menyempurnakan hidup kita, kita gak sadar kalau orang-orang yang menggunakan teknologi untuk menciptakan digital platforms demi kepentingan mereka sendiri, misalnya CEO-CEO socmed yang punya target sales dari ads, menjadikan kita kayak budak gratis. Hmm emang agak kasar sih, tapi unfortunately, that’s the reality.


Facebook, Instagram, Twitter, dan platforms2 atau socmed lainnya memberikan kita kebebasan buat bikin konten yang kita mau. Mereka senang banget kalau kita rajin bikin konten, karena artinya mereka bisa jual lebih banyak lagi ads, click, yang ditampilin ke homepage kita. Apakah menurut kamu algortma teknologi itu memang dari sananya ke set begitu? NO! Algoritma itu didesain oleh manusia juga; tim khusus yang mengcoding apa yang harus ditampilin di homepage kita setelah mereka menganalisa big data tadi untuk mengetahui interest dan memprediksi behavior kita. Menurut Tarleton Gillespie di jurnalnya tahun 2010, business model yang diterapkan oleh pemilik platforms dan socmed ya kayak gitu; revenue mereka berasal dari 3 pelanggan: end users (pengguna socmed kayak kita), advertisers (pemilik brand yang mau mempromosikan produk atau jasanya ke masyarakat), dan professional content creators (misalnya label-label companies yang ngerilis artis mereka di digital platform.


Parahnya lagi, busines model ini tidak diatur dengan jelas oleh pemerintah manapun, jadi ya socmed itu ibarat kayak sweet spot yang nguntungin si pembuat socmed ini. Makanya, di film ini dibilang, orang-orang pembuat algoritma atau designer platform ini bukan diciptakan untuk jadi evil, tapi business model yang diterapkan itu yang bermasalah. It’s ok kok digital platform companies fokusnya cari duit, cari cuan. Tapi, yang gak oke adalah ketika regulations untuk menjalan business model ini gak jelas.


Bisa bayangin kan business model ini udah dinotice sama akademisi sejak lama, contohnya ya kayak Gillepsie nulis jurnal tentang The Politics of Platforms dari 10 tahun yang lalu. Walaupun udah banyak publikasi yang mengkritik business model ini, berusaha buat hancurin reputasi atau tutup servicenya, bikin bangkrut platform, tetap aja kan socmed berjaya sampai sekarang. Perusahaan digital platforms terus dapat untung dari active user yang jumlahnya (makin) banyak. Akhirnya, gak ada alasan buat mereka buat menutup servicenya. Jadi ya memang sudah saatnya pemerintah, misalnya PBB, mulai peduli dan meperhatikan isu ini supaya peraturan tentang data privacy protection yang lebih bisa mengontrol bisnis digital platforms ini segera diberlakukan.

Serem banget kan realita teknologi dan digital platforms… Aku aja merinding pas belajar soal ini. Sampai peraturan yang mengatur eksistensi industri digital ada, selalu bijak menggunakan social media dan digital platforms lainnya ya! Gak ada yang bisa bantu kita buat terhindar dari hoax yang memecah belah kita kecuali kita sendiri yang sadar, waspada, dan berpikir kritis terhadap konten-konten dari digital platforms.


Maaf ya kalau mungkin aku agak muter-muter atau berbeli-belit buat bahas film The Social Dilemma. Tapi intinya aku mau kamu bisa semakin sadar terhadap isu ini dan lebih berhati-hati lagi saat menggunakan teknologi. Yang belum nonton film The Social Dilemma, harus banget nonton! Super recommended. Jangan lupa nomton film The Great Hack juga ya ☺️

Recent Posts

See All

Комментарии


bottom of page