top of page
  • Writer's picturepheseline

Selamat Datang #QuarterLifeCrisis

Tahu soal #QuaterLifeCrisis (a.ka. krisis seperempat abad)? Pernah ngerasain gejalanya?


Kalau aku cuma pernah baca atau denger cerita orang soal #QuarterLifeCrisis (QLC) yang aku pikir "ah, masa sih gitu? gw kayaknya gak akan kayak gitu deh." Dan akhirnya aku ngerasain efek QLC akhir-akhir ini (ngejilat ludah sendiri HAHAHA 🤪) Awalnya aku gak sadar kalau lagi di fase QLC sampai aku baca beberapa artikel di website dan sadar kalau aku memang sudah seperempat abad hidup di dunia!


Inilah tiga hal yang aku alami dan paling annoying menurutku 😕


🤪 Banyak pertanyaan soal hidup yang gitu-gitu aja

Aku sering banget bertanya pada diri sendiri, "apakah aku punya kesuksesan yang aku impikan? apakah aku sudah benar-benar berkontribusi buat orang banyak? apakah aku bahagia?" Pas pertanyaan-pertanyaan itu berkeliaran di otakku, aku tuh langsung galau parah. Aku merasa semua yang aku lakukan belum cukup buat ngasih jawaban "IYA" di pertanyaan itu semua. Aku lebih sering merasa sedih dibandingkan rasa bahagia. Walaupun aku flashback semua pencapaian yang aku dapat selama 25 tahun ini, aku tetap merasa kalau aku masih jauh banget dari kata "I have a meaningful life". Mungkin karena banyak banget hal yang terjadi di tahun 2020 ya. Pandemik COVID-19 bikin aku gak bisa belajar dengan efektif di Australia (kelasnya online dan aku belum dapat kesempatan ngerasain kuliah tatap muka), aku melihat dosenku meninggal pas zoom session, beberapa bulan kemudian papaku juga dipanggil Tuhan, dan sekarang aku "jobless" karena aku harus cuti kuliah selama aku belum bisa bisa balik ke Melbourne. Itu semua suka aku pikirkan dan bener-bener bikin aku down, apalagi pas menjelang tidur malam 😔


🤪 Selalu banding-bandingin diri sendiri sama orang lain

Ini salah satu yang paling parah sih.... aku suka bandingin pencapaian atau kesuksesan aku dengan teman-temanku di social media (socmed), terutama Instagram. Semenjak pandemik COVID-19 ini banyak banget yang akhirnya punya kerjaan tambahan, entah itu buka usaha di bidang kuliner atau bikin konten di digital platform dll. Nah, aku tuh merasa kayak kok aku gak bisa ya sesukses mereka? Kenapa aku malah ngestuck di situ-situ aja? Aku merasa diriku kecil banget, dan ujung-ujungnya muncul lagi pertanyaan-pertanyaan soal hidup. Kadang-kadang aku juga suka berpikir negatif baik itu tentang diriku sendiri atau tentang orang lain. Sumpah, ini gak bagus ya guys!


Momen ini berasa banget semenjak aku cuti kuliah, sekitar bulan Juli 2020 akhir. Perasaan dan pikiran jadi campur aduk sampai bingung mau jelasinnya gimana. Hampir tiap hari cuma bisa galau dan mikir tapi gak bisa action karena rasa cemasku lebih besar daripada motivasiku buat bergerak maju. Sampai-sampai aku merasa kalau aku harus deactivate akunku di Instagram karena itu toxic banget. I hate that feelings!


🤪 Selalu kepikiran kalau banyak goals yang belum tercapai

Ketika aku berpikir kalau di umur 25 aku bisa sukses dan nyatanya aku masih berkutat di pekerjaan yang sama, rutinitas yang sama, bahkan ngalamin drawbacks.... itu bikin aku sedih banget, lebih sedih dari patah hati 💔 Merasa diri gak ada gunanya, gak bisa bantu dan bahagiain keluarga, gak bisa bikin bangga banyak orang. Oleh karena itu, aku mikir kalau goal yang aku sudah tentukan susah banget diachieve karena sepertinya diriku gak mampu dari segi skills, kompetensi dan daya juang.


Menurutku, tiga hal itu jadi semacam "lingkaran setan". Pikiran yang kalut dan perasaan yang sensitif bikin aku jadi negative thinking terus. Bentar-bentar mikir diri sendiri gak ada artinya, bentar-bentar mikir orang lain kenapa bisa sesukses itu. Akhirnya diriku galau sendiri, kesel sendiri, dan jadi malas buat ngapa-ngapain. Ujung-ujungnya aku malah nonton YouTube & Netflix berjam-jam dan ngestalk socmed buat jadi pelarian dari perasaan gak nyamanku. Dan hasil dari "rajin" bukain socmed itu lah aku jadi makin berpikiran negatif, galau lagi, sedih lagi, dan gitu terus. Ini tuh kayak fenomena Fear Of Missing Out (FOMO) di mana kita takut ketinggalan tren baru yang sedang hits. Saat kita gak bisa mengikuti tren tersebut, kita jadi resah dan takut sendiri karena kita gak bisa kayak mereka (Kumparan 2020). Tapi tetap aja kita stalk socmed terus dan mandek di lingkaran kecanduan socmed. Kegiatan-kegitan yang nggak produktif itu jadi hambatan aku untuk berusaha mengembangkan potensi diri.


Dan realitanya adalah memutuskan "lingkaran setan" itu bener-bener susah. Tapi bersyukur banget, Tuhan masih baik sama aku karena aku dikasih pencerahan lewat orang-orang disekitarku dan buku-buku yang aku baca. Nah kali ini aku mau sharing tentang pengalamanku mengalami gejala QLC dan cara aku menghadapinya.


Kenapa sih kita, anak umur 20an, bisa ngalamin #QuarterLifeCrisis?

Aku baca beberapa artikel tentang QLC mulai dari definisi sainsnya sampai gejala yang paling umum dialami.


Menurut Dr Alex Fowke, psikolog klinis di London, QLC itu adalah periode di mana generasi muda mengalami keresahan (insecurity), keraguan (doubt), dan kekecewaan (disappointment) terhadap karier, hubungan, dan kondisi finansialnya. Ini adalah salah satu proses manusia untuk menjadi dewasa matang. Semua orang pasti mengalami fase ini termasuk orang-orang di generasi atas kita. Bedanya, generasi di atas kita mungkin gak sadar kalau mereka mengalami gejala QLC pas mereka muda karena zaman dulu tekanan sosial gak setinggi atau se-intense sekarang. Pastinya, keberadaan socmed yang menjadi pemicu utamanya.


Generasi milenial zaman sekarang dibanjiri konten yang menggambarkan milenial sebagai generasi yang harus punya investasi properti, mendapatkan promosi di tempat kerja dan mempunyai hubungan baik dengan siapa aja (Hosie 2017). Ya emang sih, milenial yang kece itu kalau bisa kayak gitu, tapi socmed sering membuat gambaran itu menjadi patokan kesuksesan yang mutlak bagi kaum milenial. Ini tuh kayak media yang menggambarkan perempuan cantik adalah perempuan yang punya badan langsing, kulit putih dan mulus, rambut panjang, tinggi, dsb. Akhirnya cewek-cewek selalu berusaha memenuhi indikator itu karena menurut mereka itulah ekspektasi masyarakat terhadap perempuan. Sekalinya mereka gak bisa memenuhi ekspektasi sosial, mereka merasa kalau mereka gak pantas jadi perempuan atau yang paling parah, merasa gagal dalam masyarakat.


QLC pun muncul karena ekpektasi sosial yang bikin banyak tekanan buat sebagian milenial. Mereka jadi ambisius banget buat sukses dini. Tapi, realitanya jalan menuju kesuksesan itu gak semulus jalan tol loh. Ada saat di mana kita gagal, tapi jadinya kita malah mikir kalau kita ngestuck dan galau soal jalur karir yang tepat.


Sejauh aku membaca beberapa artikel, sepertinya belum ada hasil penelitian yang pasti tentang kapan dan berapa lama QLC ini terjadi pada diri seseorang. Rata-rata QLC ini muncul pas kita di umur 20an sampai awal 30an (Vartanian n.d.), bahkan ada yang mulai ngalamin di umur 18 tahun (Hosie 2017)! Biasanya QLC ini hanya berlansung selama 11 bulan (Hosie 2017). Hmm, sepertinya ini bener-bener tergantung setiap individu. Seberapa sering kita intense menggunakan socmed? Seberapa lama kita akhirnya menemukan jati diri kita? Seberapa cepat kita menaklukkan gejala-gejala QLC?


Okay. Sekarang kita udah tahu nih kalau ternyata QLC itu pasti bakal kita alami baik sadar maupun tidak sadar. Ketika kita sadar kalau lagi di periode QLC, gimana caranya menghadapi QLC? Aku bakal share beberapa tips berdasarkan pengalamanku ya.


1) Cari support ke orang-orang terdekat

Pas kita ngalamin gejala QLC, ceritakan atau tuangkan perasaan kita ke orang-orang terdekat kita. Misalnya, orang tua, saudara kandung atau sahabat. Aku yakin mereka akan dengan senang hati mendengarkan keluh kesah, kegalauan, dan kepanikan kita. Mereka bahkan bisa kasih solusi yang bagus banget.


Walaupun kamu tipe orang yang gak suka cerita, jangan pernah pendam perasaan kamu sendiri! Ceritain aja ke orang yang bener-bener kamu percaya. Habis kita cerita ke orang lain, perasaan akan jadi lebih legah dan tenang. Sebaliknya, kalau kita pendam sendiri atau sok-sokan bisa handle mixed feeling kita, kita malah jadi susah bangkit.


Waktu itu aku cerita ke sahabatku, dan mereka bener-bener kasih masukkan yang positif banget. Mereka memang gak bisa membantu kita secara langsung dalam bentuk materi sih, tapi support mereka bikin pikiranku jadi lebih sehat, jernih dan stabil.


2) Cari kesibukan lain (side hustle)

Ketika kita merasa apa yang kita kerjakan gak membuat kita bahagia, cari kesibukan lain (kecuali kecanduan main socmed ya). Lakukan hobi atau kegiatan lain yang sesuai dengan passion kita. Kalau kamu masih belum tahu passion kamu, gak apa-apa banget. Kerjakan apa pun yang kamu mau. Mau ngerjain lima kegiatan sekaligus juga oke-oke aja, karena suatu saat kamu akan menyadari kegiatan mana yang senang kamu lakukan dan bisa menghasilkan positive outomes. Dengan kata lain, mengerjakan side hustle membantu kita mencari suasana atau lingkungan baru yang bikin kita sadar kalau kita punya potensi atau bakat lain, membantu kita menemukan jati diri kita, dan membantu kita menemukan arti kebahagiaan yang sesungguhnya.


Setelah pikiranku lebih jernih karena sharing sama sahabatku, aku mulai cari kesibukan seperti nulis blog lebih sering, olahraga, baca buku-buku tentang personal development, bikin podcast (jangan lupa dengerin di sini ya!🤭), jualan makanan ringan (@fourleaf_snack), fokus buat ngembangin bisnis EOku (@lolganizer) dan yang terakhir, mulai bisnis franchise. Banyak kan? hahaha itu semua aku kerjakan karena tbh, aku belum benar-benar yakin bisnis mana yang paling menguntungkan dan akan aku tekun menjalankan bisnis-bisnis tersebut dan terus mengambil kesempatan-kesempatan yang ada.


3) Punya mindset yang benar soal kesuksesan

Definisi kesuksesan itu termasuk relatif, yang artinya tingkat kesuksesan dan proses menuju kesuksesan itu berbeda-beda setiap orang. Ada yang butuh waktu singkat, ada yang harus gagal berkali-kali dulu baru bisa sukses. Nah, tapi apakah setiap orang akan share proses struggling mereka di socmed? Pasti jawabannya nggak. Sebagian orang (dan sialnya mereka ada dideretan following kita di ig) cuma ngepost hal-hal yang postif, hal-hal yang bisa mereka pamerin ke orang-orang. Makanya yang kelihatan adalah bagian suksesnya aja.


Kita "dibutakan" sama apa yang terlihat oleh mata kita. Belum tentu kan mereka dapat kesuksesan kayak gitu instan. Bisa aja mereka udah mengalami QLC juga tapi mereka gak share ke publik (karena merasa itu adalah privasi). Dan sekarang ini, mereka sudah berhasil ngelewatin fase QLC dan jadi apa mereka inginkan. Ingat, siapapun bisa pasti ngalamin QLC cuma waktunya aja yang beda-beda. Jadi, kita harus melatih diri buat gak banding-bandingin kesuksesan kita dengan orang lain ya! Akan ada saatnya kita seperti mereka. Yang penting cepet-cepet lewatin QLC, bangkit dari keterpurukan, dan melangkah maju (lagi) 🙌 DON'T LET OTHER'S SUCESS DEFINES YOU!


4) Sabar, tekun, biarkan semuanya mengalir apa adanya

Sesingkat-singkatnya waktu yang dibutukan seseorang untuk sukses, pasti tetap ada proses yang harus dijalankan. Gak ada yang instan di dunia ini. Buat makan mie instan aja, kita harus rebus air, tuang bumbumya, rebus mienya, aduk mienya sama bumbu, foto & post di story dulu hasil masakan mie instannya, baru deh akhirnya bisa makan mie yang enaknya kebangetan itu. jadi laper kan🤤 hahaha Intinya, kita harus sabar dan terus tekun sama apa yang kita lakukan. Mungkin sekarang memang belum kelihatan hasilnya, tapi kalau kita berusaha terus pasti bisa sukses. Nikmati setiap proses (rintangan, masalah, kegagalan) dengan pikiran yang positif karena proses itu bikin kita makin dewasa.


Nah, setelah kita sukses, kita harus bangga sama diri sendiri karena kita berhasil menaklukkan QLC dengan baik. Apalagi ditengah pandemik gini di mana ruang gerak dan eksplorasi kita agak terbatas. Jadi wajar banget kalau QLC makin berasa efeknya karena frekuensi interaksi sosial kita menjadi lebih berkurang dan kita jadi lebih banyak kerja atau mikir sendiri. Jadi, biarkan semuanya mengalir apa adanya, yang penting kita percaya kuasa Tuhan dan percaya dengan kemampuan kita sendiri. Aku selalu pegang dua prinsip ini dalam hidupku: (1) Tuhan gak akan kasih kita ujian di luar batas kemapuan kita; (2) Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Semoga kamu juga punya prinsip yang sama ya 😇


Terakhir.... SELAMAT DATANG DI #QUARTERLIFECRISIS, para generasi muda! Aku yakin kita bisa melewatinya dengan sangat baik 🙏 ADMIT it, FACE it, NAIL it!

Oh ya, share juga dong QLC kalian di kolom comment 😁 mana tahu kita bisa saling bantu hehehe


*yang mau baca-baca artikel lebih lanjut tentang #QuarterLifeCrisis, bisa klik link-link di bawa ini ya..

2) "9 Tanda Quarter Life Crisis, Sudahkah Kamu Giliran Mendapatinya?" by Febriyanti Revitasari (2020)

3) "Powering through your quarter-life crisis" by Varci Vartanian (n.d.)

113 views0 comments

Comments


bottom of page